Senin, 30 Agustus 2010

Vegetasi Hutan Wanagama

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu dari 7 (tujuh) negara megabiodiversity kedua setelah Brazilia. Distribusi tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropis Indonesia lebih dari 12 % (30.000) dari yang terdapat di muka bumi (250.000). Sebagaimana telah diketahui bersama, tumbuh-tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan manusia dalam kehidupan, sejak awal peradaban seperti untuk sandang, pangan, papan, energi, dan sumber ekonomi.
Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai akibat dari eksploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.penyelamatan hutan seperti dibuatnya hutan Wanagama ini adalah suatu upaya dalam menanggulangi suatu bencana.
Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Hutan berpotensi sebagai penahan erosi dan menghijaukan tanah yang tandus. Karena hutan Wanagama sendiri merupakan hutan buatan yang sengaja dibuat manusia dalam upaya sebagai penghijauan lahan yang tandus. Oleh karena itu untuk lebih mengetahui keanekaragaman dan vegetasi suatu hutan, maka perlu dilakukan studi untuk mempelajari vegetasi hutan. Salah satunya adalah hutan Wanagama
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana penerapan metode Quadrat Sampling Techniques di Hutan Wanagama?
2. Jenis-jenis tumbuhan apa saja yang ditemukan di hutan wanagama?
3. Bagaimana menganalisa struktur vegetasi di Hutan Wanagama?
C. Tujuan
1. Menerapkan metode pengambilan data pada studi vegetasi Hutan Wanagama dengan teknik ploting (Quadrat Sampling Techniques)
2. Mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan di Hutan Wanagama
3. Menganalisa struktur vegetasi Hutan Wanagama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Vegetasi
Vegetasi merupakan unsur yang dominan yang mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu yang alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbulkan dari daun, bunga maupun buahnya (Rochman, 2005).
Kimball (2005) menyatakan bahwa hutan hujan tropis mencapai perkembangan sepenuhnya pada bagian belahan bumi sebelah barat dan mencapai perkembangan sepenuhnya di bagian tengah dan selatan,sangat beragam spesiesnya. Disana, jarang dijumpai dua pohon dari spesies yang sama tumbuh berdekatan.vegetasinya sedemikian rapat sehingga cahaya sangat sedikit yang sampai ke dasar hutan.
Wilayah hutan hujan tropis mencakup ± 30% dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembaban udara yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hujan merata sepanjang tahun (Ewusie, 1980).
Menurut Soedjiran et all (1993) hutan hujan tropis (tropical rain forest) terdapat di daerah tropis yang basah dengan curah hujan yang tinggi dan tersebar sepanjang tahun, seperti di Amerika tengah dan selatan, Asia tenggara, Indonesia dan Australia timur laut. Dalam hutan ini pohon-pohonnya tinggi dan pada umumnya berdaun lebar dan selalu hijau, jumlah jenis besar. Sering terdapat paku-paku pohon, tanaman merambat berkayu liana yang sering dapat mencapai puncak pohon-pohon yang tinggi dan epifit. Hutan ini kaya akan jenis-jenis hewan invertebrata dan vertebrata.
Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam, yaitu metode dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode garis petak (untuk risalah permudaan) dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti halnya pada bidang-bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut dengan Sumber Daya Alam (Latifah, 2005).
B. Struktur Vegetasi
Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada suatu area yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas (keanekaragaman) jenis. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor seperti : flora setempat, habitat, (iklim,tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan. Komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan tidak dapat dilepaskan dari pentingnya mengetahui air tanah dan ketersediaan air tanah bagi tumbuhan di sekitarnya. Ketersediaan air dalam tanah ditentukan oleh kemampuan partikel tanah memegang air. Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat dalam ruang-ruang antar butir tanah yang membentuknya. Air tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal terdapat pada bidang tanah yang mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembentukan tanaman. Melalui profil, kedalaman air dapat diduga berdasarkan tinggi, maka air tanah yang selalu mengalami periode naik turun sesuai dengan keadaan musim atau faktor lingkungan luar lainnya. Kedalaman muka air tanah yang dimaksud adalah kedalaman muka priotik yaitu kedalaman muka air tanah sumur-sumur gali yang ada (Kusumawati, 2008).
Penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup Mengingat tinggi dan pentingya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas dan pelestarian serta perlindungan hutan sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang. Produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan (Marsono, 2004).
Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan atau pembinaan hutan harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dalam rangka melindungi hutan berikut komponen yang ada didalamnya dari berbagai macam faktor penyebab kerusakan. Hutan jika ditinjau dari aspek kesehatannya terbagi atas tiga komponen yakni dari sisi pemanfaatan yakni pada tegakkan hutan, lingkungan yakni terhadap sebuah komunitas dan kesehatan ekosistem yang lebih menjurus pada landscape (Marsono, 2004).
C. Hutan Wanagama
Kawasan Hutan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru–paru kota dan sebagai media pembelajaran alamiah ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh lewat kehadiran kawasan Hutan wanagama ini, maka upaya untuk mempertahankan fungsi dan peran kawasan ini harus terus dilakukan (Irwanto, 2006).
Bahwa hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-faktor biotik dan abiotik dalam hutan tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan pengelolaan hutan saat ini maupun masa akan datang. Kondisi hutan sehat ditandai oleh adanya pohon-pohon yang tumbuh subur dan produktif, akumulasi biomasa dan siklus hara cepat, tidak terjadi kerusakan signifikan oleh organisme pengganggu tumbuhan, serta membentuk ekosistem yang khas (Kimmins, 1987).
Ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya rimpang yang terbentuk karena matinya pohon. Ekosistem hutan yang sehat tercapai bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan (Widyastuti, 2004).
Kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah antara keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat perbedaan yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi untuk memperoleh manfaatnya (Sumardi,2004).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Deskripsi lokasi
Hutan Wanagama terletak di Kecamatan Playen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Secara geografis terletak antara 110030’38” dan 110033’3” Bujur Timur dan 7053’25” dan 7054’52” Lintang Selatan. Dengan batas-batas wilayah, sebelah Timur berbatasan dengan jalan raya Yogya-Wonosari sepanjang 3.1 km, mulai dari sungai Oyo di Bunder sampai di perempatan desa Gading. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Gading, Banaran dan Ngleri, dengan panjang jalan batas hutan 6.3 km. Sebelah barat berbatasan dengan petak 3, petak 4 dan petak 8. Sebelah utara berbatasan dengan dukuh kemuning untuk petak 6, petak 7 dan sebagian kecil dengan petak 13, selebihnya berbatasan dengan sungai Oyo (Irwanto, 2006).
B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada :
Hari/tgl : Minggu, 26 Maret 2010
Waktu : 08.00 – 12.00 WIB
Tempat : Hutan Wanagama, Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta
C. Metode kerja
1. Alat dan bahan
a. Alat
1. termometer udara
2. termometer tanah
3. soil tester
4. meteran kamera
5. kamera
6. kantong plastik
7. kertas label
b. Bahan
Berbagai macam jenis tumbuhan di Wanagama
c. Cara kerja
Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini sebagai berikut :
1. Menentukan lokasi dan batas-batas wilayah studi
2. Menentukan luas minimum plot sampling
a. Secara acak ditentukan kuadran I dengan panjang sisi 4 m atau luas 16 m2.
b. Identifikasi jenis dan dihitung jumlah individunya
c. Kuadran I diperluas menjadi 2 kali lipat luasnya, ukuran kuadran II (4 m x 8 m = 32 m2).
d. Identifikasi jenis dan dihitung jumlah individu dari jenis yang belum ditemukan pada kuadran I, dan apabila ditambahkan dengan jenis pada kuadran I maka diperoleh jumlah jenis pada kuadran II.
e. Kuadran II diperluas hingga berukuran 8m x 8m = 64 m2, selanjutnya kuadran II ditambah dengan perluasannya disebut kuadran III.
f. Identifikasi jenis dan dihitung junlah individu yang ditemukan
g. Perluasan kuadran diteruskan dan diikuti dengan identifikasi jenis dan perhitungan individunya, sampai jumlah jenis tidak ada lagi dengan penambahan yang tak berarti.
h. Pembuatan grafik
i. Membuat grafik berdasarkan data yang diperoleh dengan sumbu X sebagai luas kuadran, dan sumbu Y sebagai jumlah kumulatif jenis.
j. Titik sumbu X 10% dari luas kudran terbesar dan titik sumbu Y 10% dari jumlah kumulatif tertinggi jenis.
k. Garis ordinasi dibuat melalui titik temu 10% jumlah spesis dengan 10% luas plot terbesar.
l. Dibuat garis sejajar dengan garis ordinal yang menyinggung grafik jumlah kumulatif jenis. Titik singgung antara garis sejajar dengan grafik, diproyeksi pada sumbu Y, maka ditemukan luas plot yang dimaksud.
3. Pengamatan dan identifikasi jenis yang belumdiketahui.
4. Melakukan analisis data vegetasi untuk penentukan frekuensi (FA dan FR%) dan densitas (DA dan DR%).


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Tabel spesimen
Spesies Jumlah individu pada kuadrant total
I II III IV V
Spesies A 26 29 41 67 106 106
Spesies B 3 9 14 19 27 27
Mojo 14 29 36 58 83 83
Saga pihon 7 24 38 73 97 97
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) 72 77 173 333 515 515
Spesies C 2 2 2 3 3 3
Cissus repens 7 28 49 81 251 251
Spesies D 1 1 1 1 4 4
Maclura coccinensis 7 15 23 28 43 43
Lilin 1 2 4 6 11 11
Spesies E 1 1 1 1 1 1
Eleuteranthera ruderalalis 1 3 5 7 14 14
Anggrek tanah 9 9 10 11 11 11
Spesies F 1 1 1 1 1 1
Spesies G 1 1 2 5 5 5
Spesies H 2 2 2 3 3 3
Pakan ulo - 1 1 1 3 3
Spesies I - 1 1 1 3 3
Spesies J - 3 3 6 13 13
Akasia (Acacia mangium) - 1 1 3 11 11
Spesies K - - - 4 4 4
Spesies L - - 1 3 5 5
Kecubung - - - 1 1 1
Benik-benikan - - - 4 4 4
Jambu-jambuan - - - - 2 2
Gnetum gnemon - - - - 1 1
Jamur - - - - 1 1
Spesies M - - - - 3 3

b. Tabel Penentuan Nilai
NAMA SPESIES DENSITAS ABSOLUT DENSITAS
RELATIF FREKUENSI ABSOLUT FREKUENSI RELATIF (%)
Spesies A 0,4 8,20 1 4,60
Spesies B 0,11 2,30 1 4,60
Mojo 0,32 6,60 1 4,60
Saga pihona 0,38 7,80 1 4,60
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq) 2,01 41,60 1 4,60
Spesies C 0,01 0,20 1 4,60
Cissus repens 0,98 20,30 1 4,60
Spesies D 0,02 0,41 1 4,60
Maclura coccinensis 0,17 3,50 1 4,60
Lilin 0,04 0,80 1 4,60
Spesies E 0,003 0,06 1 4,60
Eleuteranthera ruderalalis 0,05 1,03 1 4,60
Anggrek tanah 0,04 0,80 1 4,60
Spesies F 0,003 0,06 1 4,60
Spesies G 0,02 0,41 1 4,60
Spesies H 0,01 0,20 1 4,60
Pakan ulo 0,07 1,45 0,80 3,70
Spesies I 0,01 0,20 1 3,70
Spesies J 0,05 1,03 0,80 3,70
Akasia (Acacia mangium) 0,04 0,82 0,80 3,70
Spesies K 0,02 0,41 0,60 2,70
Spesies L 0,002 0,41 0,40 1,80
Kecubung 0,003 0,06 0,40 1,80
Benik-benikan 0,02 0,41 0,40 1,80
Jambu-jambuan 0,007 0,14 0,20 0,90
Gnetum gnemon 0,003 0,06 0,20 0,90
Jamur 0,003 0,06 0,20 0,90
Spesies M 0,01 0,20 0,20 0,90
∑=4,82 ∑=21,80




c. Data Komponen Abiotk
Komponen yang diukur Plot
I II III IV V
Udara Suhu (°C) 31 31 31 31 31

Tanah pH 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4
Kelembaban 91 91 91 91 91
Suhu (°C) 27 27 27 27 27
Ketinggian (mdpl) 196 196 196 196 196

d. Grafik


B. Pembahasan
Hutan Wanagama terletak di Kecamatan Playen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Hutan Wanagama merupakan hutan buatan yang dibuat oleh fakultas kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Tujuan dibuat hutan tersebut adalah sebagai penghijauan karena lahan yang tandus. Pada awal pembangunannya, Wanagama merupakan bukit gundul yang tandus dan kering. Kehidupan di lokasi ini dimulai ketika tim dari Fakultas Kehutanan UGM melakukan penghijauan dengan teori pembelukaran. Mereka menanam sebanyak mungkin jenis tanaman pionir yang mampu memperbaiki kondisi tanah, tata air, dan iklim mikro.
Tanaman pionir yang didominasi jenis legum memiliki kemampuan mengikat nitrogen di udara sehingga sanggup menyuburkan tanah. Kesuburan tanah juga didongkrak dari tumpukan biomassa humus yang berasal dari pembusukan daun. Hasil dari teori pembelukaran ini baru bisa dinikmati setelah kurun waktu 10-15 tahun.
Analisis vegetasi hutan memerlukan hal yang diperhitungkan yaitu terkait dengan nilai penting yang didapatkan dari praktikum lapangan ini.analisa ini digunakan untuk mengetahui struktur dan jenis vegetasi hutan Wanagama. Dengan mendeskripsikan tumbuhan maka dapat dihitung komposisi, struktur, densitas/kemelimpahan, frekuensi/sebaran dan penutupan tajuk dari spesies yang ditemukan.
Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada suatu area yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas (keanekaragaman) jenis. Struktur hutan Wanagama tersusun atas berbagai densitas tumbuhan dengan lingkungan abiotik yang mendukung berlangsungnya hutan tersebut. Struktur vegetasi pada penelitian ini didasarkan pada kemelimpahan jenis spesies dan sebaran/frekuensi pada tiap plot. Pada studi vegetasi yang telah dilakukan, ditemukan 28 jenis tanaman yang berbeda.
Indeks nilai penting yang diukur yaitu densitas dan frekuensi. Kemelimpahan/kerapatan (densitas) merupakan banyaknya individu persatuan luas atau volume. Densitas/kemelimpahan terbesar ditunjukkan pada spesies mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) dengan densitas relatif sebesar 41,60 dengan karakter morfologi akar tunggang, batang berkayu, pertulangan daunnya sejajar, mempunyai buah yang bersayap berwarna coklat dan di dalam buahnya terdapat biji, rasa buahnya pahit. Densitas terkecil ditunjukkan oleh spesies E, F, kecubung, Gnetum gnemon, dan jamur. Dengan jumlah densitas relatif sebesar 0,06.
Frekuensi/sebaran merupakan distribusi/sebaran yang terjadi dan terdapat pada setiap plot. Frekuensi tersebut menggambarkan kemampuan tumbuhan dalam bertahan hidup dsesuai lingkungannya dan kemampuan tumbuh. Frekuensi terbesar ditunjukkan pada spesies A, B, Mojo, Saga pihon , Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.), C, Cissus repens, D, Maclura coccinensis, Lilin, E, Eleuteranthera ruderalalis, Anggrek tanah, F, G, dan H. Sedangkan frekuensi terkecil ditunjukkan pada spesies jambu-jambuan, Gnetum gnemon, jamur, dan spesies M.
Kemelimpahan/densitas yang terjadi adalah keseluruhan jumlah tumbuhan pada semua plot yang paling dominan yaitu mahoni. Sedangkan frekuensi yang terjadi adalah sebaran pada masing-masing plot yaitu spesies A, B, Mojo, Saga pihon , Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.), C, Cissus repens, D, Maclura coccinensis, Lilin, E, Eleuteranthera ruderalalis, Anggrek tanah, F, G, dan H. pola sebaran/frekuensi tidak mempengaruhi pada densitasnya. Karena frekuensi hanya kemelimpahan tiap plot sedangkan densitas adalh keseluruhan individu per plot. Begitu juga densitas tidak mempengaruhi besar kecilnya frekuensi.
Persebaran dan adaptasi tumbuhan merupakan faktor yang mempengaruhi struktur hutan Wanagama. Lapisan yang terdapat di hutan Wanagam ada tiga yaitu lapisan dasar/semak (tumbuhan merumput), lapisan tengah (perdu), dan lapisan atas. Vegetasi hutan akan nampak ketika terjadi pergantian musim dan cuaca. Luas penutupan tajuk adalah luas daerah yang dihuni tumbuhan. Penutupan tersebut menggambarkan adanya penguasaan pada daerah tersebut yaitu ditunjukkan dengan peneduhan oleh batang, daun, cabang jika dilihat dari sisi atas. Pada praktikum lapangan ini tidak dilakukan pengamatan mengenai luas penutupan tajuk. Ini dikarenakan pada saat penelitian kurangnya penyinaran oleh matahari dan faktor cuaca yang saat itu hujan, sehingga tidak terlihat luas penutupan tajuk oleh tumbuhan di hutan Wanagama.
Sruktur vegetasi di hutan Wanagama dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik lainnya. Faktor biotik seperti adanya semut, rayap, jamur maupun dekomposer lain yang membantu proses pertumbuhan tumbuhan. Faktor abiotik seperti tanah yang lembab dan kaya akan air yang di atasnya terdapat potongan ranting, daun dan serasah-serasah yang kaya mengandung humus juga akan mempengaruhi faktor biotiknya. Jika serasah-serasah tersebut didekomposisi oleh dekomposer, maka akan menjadikan tanah menjadi subur. Suhu, pH, kelembaban, ketinggian maupun intensitas cahaya juga berpengaruh pada vegetasi hutan Wanagama. Iklim yang mendukung dapat mempengaruhi kemelimpahan dan keberagaman spesies yang tumbuh di hutan Wanagama. Karena penlitian yang telah dilakukan yaitu pada bulan Maret yang masih termasuk musim penghujan.
Metode yang digunakan dalam vegetasi hutan Wanagama adalah teknik ploting (Quadrat Sampling Techniques). Menggunakan tehnik itu karena untuk menghitung vegetasi hutan yang begitu luas diperlukan metode yang menerapkan perluasan plot untuk menghitung densitas dan sebaran/frekuensi dari vegetasi hutan Wanagama yang nantinya dapat diketahui luas minimum plotnya. Perluasan plot yang telah dilakuakn yaitu sebanyak 5 kali dengan total perluasan yaitu 256 m2. Dari tabel yang didapatkan maka disajikan dalam bentuk grafik dan diperoleh luas minimum plot yaitu 32 m2. Luas mininmum plot tersebut adalah luas yang ideal digunakan untuk penelitian berikutnya, karena kemelimpahan pada plot tersebut masih banyak dibandingkan dengan yang lain.
Berdasarkan analisa nilai penting di atass yang mencakup densitas relatif dan frekuensi relatif, maka tumbuhan yang kemelimpahannya paling banyak yaitu mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) dan frekuensi relatif terbesar adalah spesies A, B, Mojo, Saga pihon , Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.), C, Cissus repens, D, Maclura coccinensis, Lilin, E, Eleuteranthera ruderalalis, Anggrek tanah, F, G, dan H. Tujuan hutan itu sendiri adalh sebagai penanggulangan erosi dan lahan yang tandus menjadi hijau kembali (penghijauan). Potensi hutan di wanagama dapat sebagai penanggulangan pengikisan tanah di daerah sekitarnya.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hutan Wanagama mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang melimpah karena hutan tersebut menyajikan berbagai jenis tumbuhan dan jumlah spesies/ kemelimpahan yang nyata. Tujuan dibuatnya hutan Wanagama sendiri untuk penghijauan dan penelitian. Penelitian yang telah dilakukan dengan metode Quadrat Sampling Tecnique tepat digunakan untuk mengetahui vegetasi hutan tersebut. Luas minimum plot yang didapatkan yaitu 32 m2 dan disitulah terjadi penambahan spesies yang paling banyak.
Jenis-jenis tumbuhan yang diperoleh dari pengamatan yaitu sebanyak 28 spesies. Kemlimpahan yang paling banyak di hutan Wanagama yaitu ditunjukkan oleh spesies Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.). Struktur vegetasi dilihat dari nilai penting yaitu densitas relatif dan frekuensi relatifnya.
B. Saran
Hasil pengamatan hutan Wanagama yang telah dilakukan diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pada peneliti berikutnya pada umumnya. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini dan semoga laporan studi vegetasi hutan ini dapat diapresiasi. Amin. Marilah kita senantiasa mulai menyayangi diri sendiri yang dapat dimulai dengan menyayangi hutan di Indonesia. Salam konservasi.

Daftar Pustaka

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Tanuwijaya U. Bandung: ITB
Irwanto. 2006. Penilaian kesehatan hutan tegakan jati (Tectona grandis) dan eucalyptus (Eucalyptus pellita) pada Kawasan hutan wanagama. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Kimball. J.W. 2005. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. New York : MacMillan Publishing Company
Kusumawati, J. 2008. Analisis Struktur Vegetasi Tumbuhan Hubungannya dengan Ketersediaan Air Tanah di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Marsono, Djoko. 2004. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta : BIGRAF Publishing bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL),
Rochman. 2005. Biologi. Bandung : CV. Pustaka Mulia
Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.






Lampiran

Spesies A
Spesies B
Mojo

Saga pihon (fam.Leguminosae) mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.)
Spesies C


Eleuteranthera ruderalalis

Anggrek tanah
Pakan ulo

Gnetum gnemon kecubung Jambu-jambuan

ekosistem kebun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungannya. Berkembangnya ilmu pengetahuan, ekologi tidak hanya mempelajari masalah hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya tetapi mempelajari pula stuktur dan fungsi ekosistem ( alam ), sehingga dapat menganalisis dan memberi jawaban terhadap berbagai kejadian alam. Di bumi ini terdapat bermacam-macam ekosistem seperti; ekosistem hutan, ekosistem danau, ekosistem kebun, ekosistem sawah, ekosistem laut, ekosistem mangrove, dan lain sebagainya. Setiap ekosistem mempunyai karakter yang berbeda dengan ekosistem yang lain karena setiap ekosistem memiliki struktur penyusun masing-masing. Menurut Odum ( 1983 ) adapun penyusun struktur ekosistem adalah densitas (kerapatan), biomassa, materi, energi, dan faktor fisik-kimia lain yang mencirikan keadaan sistem tersebut.
Pada pengamatan ini ekosistem yang digunakan adalah kebun. Kebun dalam bahasa Indonesia berarti sebidang tanah, yang mendapat sentuhan tangan manusia dan ditanami oleh berbagai macam tumbuhan. Ukuran kebun sangat bervariasi, mulai dari beberapa meter persegi hingga ribuan hectare. Apabila berukuran kecil dan ditanami tumbuhan semusim dapat disebut sebagai ladang.
Kebun yang digunakan sebagai objek penelitian adalah kebun ketela yang terletak di daerah belakang APMD dekat komunitas pemulung. Alasan memilih tempat tersebut karena daerahnya masih asri, dekat sungai, memenuhi kriteria pengamatan, dan mudah dijangkau oleh siapapun. Untuk mengetahui keseimbangan ekosistem kebun ketela tersebut maka diperlukan pengamatan langsung pada kebun ketela. Ekosistem kebun ketela dapat dikatakan seimbang ketika kita sudah mendapatkan hasil pengamatan dan menganalisisnya.




B. Rumusan Masalah
1. Jenis-jenis organisme apa yang ditemukan pada ekosistem kebun ketela?
2. Bagaimana tingkat tropiknya?
3. Bagaimana rantai makanan pada kebun ketela?
4. Bagaimana jaring-jaring makanan pada kebun ketela?
5. Bagaimana hubungan antara faktor abiotik dan biotik pada kebun ketela?
6. Seperti apa keseimbangan yang terjadi pada ekosistem kebun ketela?
C. Tujuan
1. Menentukan metode yang tepat untuk studi ekosistem kebun ketela
2. Mengidentifikasi jenis-jenis organisme yang ditemukan pada ekosistem kebun ketela
3. Mengelompokkan organisme berdasarkan tingkatan tropiknya
4. Menyusun rantai makanan dan jaring-jaring makanan
5. Menganalisis keseimbangan ekosistem kebun ketela














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem
Ekosistem yaitu antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi.interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. komponen penyusun ekosistem adalah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivor, karnivor, omnivor) dan dekomposer/penguurai (mikroorganisme) (Pratiwi, 2000).
Ekosistem terdapat interaksi antara komponen abiotik dengan komponen biotik. Pada komponen biotik di bentuk oleh berbagai organisme yang berbeda jenisnya. (Rochman, 2005). Beberapa organisme yang jenisnya sama akan membentuk populasi, beberapa populasi yang berbeda akan membentuk komunitas. Satu ekosistem akan berbeda dengan ekosistem lainnya. Perbedaan ini terjadi di dasarkan ciri-ciri komunitas yang menonjol (baik hewan maupun tumbuhan) karena setiap organisme membentuk komunitas memiliki karakteristik yan bermacam-macam.maka terbentuklah macam-macam ekosistem.
Maizer (2007) menyatakan bahwa dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer. Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer.tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Faktor-faktor abiotik merupakan bagian dari ekosistem selain komunitas spesies yang ada dalam suatu daerah tertentu (Campbell, 2004). Pada tingkat ekosistem akan berhubungan dengan aliran energi dan pendauran zat-zat kimia pada berbagai komponen biotik dan abiotik. Studi ekosistem banyak melibatkan ilmu lainnya, seperti genetika, evolusi, fisiologi, dan perilaku. Selain itu, kimia, fisika, geologi, meteorologi konservasi.
Menurut Kimball (2005) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu komunitas organisme yang berinteraksi sesamanya dan dengan alam tak hidup disekitarnya. Ekosistem beragam dalam produktivitasnya, artinya dalam jumlah energi yang disimpan dalam benda hidup heterotrof menjamin energi yang diperolehnya dari autotrof. Energi dan bahan dari organisme lain memastikan suatu rantai makanan dan setiap mata rantainya merupakan tingkatan trofik.
Pengelolaan lingkungan hidup bersifat Antroposentris, artinya perhatian utama dihubungkan dengan kepentingan manusia. Kelangsungan hidup suatu jenis tumbuhan atau hewan, dikaitkan dengan peranan tumbuhan atau hewan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik material (bahan makanan) dan nonmaterial (keindahan dan nilai ilmiah). Dengan demikian kelangsungan hidup manusia dalam lingkungan hidup sangat ditentukan oleh tumbuhan, hewan, dan unsur tak hidup. Menurut Odum (1979) dalam bukunya “Fundamentals of Ecology”, lingkungan hidup didasarkan beberapa konsep ekologi dasar, seperti konsep: biotik, abiotik, ekosistem, produktivitas, biomasa, hukum thermodinamika I dan II, siklus biogeokimiawi dan konsep faktor pembatas. Dalam komunitas ada konsep biodiversitas, pada populasi ada konsep “carrying capacity”, pada spesies ada konsep distribusi dan interaksi serta konsep suksesi dan klimaks.
B. Jenis-jenis Ekosistem
Menurut Rochman (2005) bahwa Ekosistem terbagi menjadi 4, yaitu:
a) Ekosistem air tawar, didalamnya hidup bermacam-macam ikan, yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya seperti kadar garam yang rendah .
b) Ekosistem air laut, hidup bermacam-macam ikan, yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, seperti kadar garam yang tinggi.
c) Ekosistem darat, pada ekosistem darat komunitas vegetasi (tumbuhan yang menutupi permukaan tanah) dijadikan dasar keanekaragaman ekosistem darat, contoh hutan bakau(tanaman bakau sebagai dominan)
d) Ekosistem binaan, yaitu ekosistem yang sengaja dibentuk dan dibina oleh manusia untuk tujuan tertentu, seperti kolam, sawah, kebun serta tambak.
Sedangkan ekosistem menurut Kimball (2005) bahwa ekosistem terbagi menjadi 2, yaitu:
a) Ekosistem air tawar, 3% air dimuka bumi adalah air tawar. 99%membeku dalam glaiser dan terbenam dalam aquifer, sisanya terdapat dalam danau, kolam, sungai sdan aliran dan disitu menyediakan bermacam-macam habitat untuk komunitas hayati.
Ekosistem laut, terdiri atas pasir pantai, karang, muara, rawa mangrove dan gosong karang. Beberapa dari habitat ini , misalnya, rawa pantai.
C. Komponen yang mempengaruhi Ekosistem
Komponen yang mempengaruhi Ekosistem terdiri atas faktor abiotik dan faktor biotik (Maizer, 2007).
1. Faktor-faktor abioik utama:
a. Suhu
Suhu lingkungan merupakan faktor penting dalam persebaran organisme karena akan mempengaruhi proses biologis dan pengaturan suhu tubuh sebagian besar organisme. Sejumlah organisme dapat mempertahankan metabolisme yang cukup aktif pada suhu yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi, adaptasi yang ini memungkinkan beberapa organisme hidup di luar kissaran suhu tersebut.
b. Air
Dengan sifat yang unik dari air dapat mempengaruhi organisme dan lingkungannya. Air sangat penting bagi kehidupan,tetapi ketersediaan di berbagai habitat sangat bervariasi. Organisme air tawar dan air laut hidup terendam didalam ligkungan akuatik dan menghadapi permasalahan keseimbangan air jika tekanan osmosis intraselulernya tidak sesuai dengan tekanan osmosis air disekitarnya. Organisme di darat menghadapi ancaman kekeringan yang hampir konstan dan evolusinya dibentuk oleh kebutuhannya untuk mendapatkan dan menyimpan air dalam jumlah besar. Alqur’an menegaskan bahwa air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup (Q.S.al-anbiya 30)
c. Cahaya matahari
Dalam Alqur’an secara eksplisit telah menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan matahari dan bulan untuk keperluan dan manfaat bagi manusia sebagaimana dalam surat Ibrahim ayat 33. Matahari memberikan energi yang menggerakkan hampir seluruh ekosistem, meskipun hanya tumbuhan dan organisme fotosintetik lain yang mengunakan sumber energi secara langsung.intensitas cahaya bukan merupakan faktor yang terpenting yang membatasi pertumbuhan tumbuhan darat tetapi dihutan tropis terjadi persaingan ketat oleh adanya kanopi hutan. Di lingkungan akuatik, intensitas dan kualitas cahaya membatasi persebaran organisme fotosintetik.

d. Angin
Keberadaan angin sebagai komponen abiotik dalam biosfer. Angin mempunyai pengaruh suhu lingkungan pada organisme dengan cara menghilangkan panas melalui penguapan (evaporasi) dan konveksi (pendinginan oleh angin). Angin juga menyebabkan hilangnya air pada organisme melalui meningkatkan laju penguapan pada hewan dan peningkatan laju transpirasi pada tumbuhan. Di samping itu angin akan mempunyai pengaruh pengaruh pada penghambatan pertumbuhan pada daerah angggota tubuh yang terdapat pada daerah yang terkena tiupan angin sedangkan pada daerah yang tidak terkena tiupan angin akan tumbuh dengan normal.
d. Iklim
Komponen utama iklim adalah: suhu, air, cahaya, dan angin yang kesemuanya akan membentuk kondisi cuaca yang dominan pada suatu lokasi. Iklim dapat menyebabkan dampak yang sangat besar pada persebaran organisme dengan cara membuat klimagraf yaitu suatu plot suhu dan curah hujan dalam suatu daerah tertentu biasanya dibuat rata-rata dalam periode tahunan.
2. Faktor-Faktor Biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup: tumbuhan, hewan, manusia, mikroorganisme. Tumbuhan berperan sebagai produsen sedangakn hewan berperan sebagai konsumen dan mikroorganisme berperan sebagai decomposer. Komponen biotik meliputi semua makhluk hidup yang terdapat dalam. Ekosistem Berdasarkan fungsinya di dalam, ekosistem makhluk hidup dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu produsen, konsumen, dan dekomposer atau pengurai. (Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002).
a. Produsen
Tumbuhan hijau mampu memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan zat makanan melalui proses fotosintesis, sehingga disebut sebagai produsen. Organisme yang dapat membuat makanan sendiri disebut organisme autotrof. Gambaran reaksi kimia proses fotosintesis. Zat makanan yang terbentuk merupakan energi kimiawi yang tersimpan pada bagian daun, batang, akar atau buah. Hasil fotosintesis lainnya adalah berupa oksigen dilepas ke udara bebas dan digunakan.
b. Konsumen
Manusia dan hewan termasuk dalam golongan konsumen karena keduanya tidak dapat membuat makanan sendiri. Konsumen disebut juga organisme heterotrof, artinya organisme yang tergantung organisme lain untuk mendapatkan makanan. Berdasarkan jenis makanannya, organisme yang mendapatkan makanan dari tumbuhan saja disebut herbivora, organisme yang hanya makan hewan disebut karnivora. Organisme yang mendapatkan makanan dari tumbuhan maupun hewan disebut omnivora.
c. Dekomposer atau Pengurai
Dekomposer atau pengurai dalam menguraikan zat organik yang terdapat pada makhluk hidup yang sudah mati menjadi zat yang lebih sederhana, seperti mineral atau zat organik lain. Makhluk hidup yang berperan sebagai pengurai adalah bakteri dan jamur saprofit. Zat mineral atau zat hara hasil penguraian meresap ke dalam tanah yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Keseimbangan ekosistem dapat terjadi bila ada hubungan timbal balik yang harmonis antar komponen biotik dan abiotik.
Energi dalam ekosistem Setiap kegiatan memerlukan energi. Sumber energi untuk organisme adalah energi kimia yang terdapat di dalam makanan. Makhluk hidup tidak mampu menciptakan energi, melainkan hanya memindahkan dan memanfaatkannya untuk beraktivitas. perpindahan energi berlangsung dari matahari ke tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Di sini energi cahaya diubah menjadi energi kimia. Sewaktu tumbuhan hijau dimakan herbivora, energi kimia yang tersimpan dalam tumbuhan berpindah ke dalam tubuh herbivora dan sebagian energi hilang berupa panas. Demikian juga sewaktu herbivora dimakan karnivora. Oleh karena itu, aliran energi pada rantai makanan jumlahnya semakin berkurang. Pergerakan energi di dalam ekosistem hanya satu jalur, berupa aliran energi.
D. Struktur trofik dalam kehidupan
Rantai makanan adalah peristiwa makan dan dimakan antara organisme dengan arah tertentu pada suatu ekosistem. terdiri atas rantai makanan perumput,rantai makanan detritus. Rantai Makanan tidak hanya mencakup hewan-hewan seperti rusa, sapi tetapi juga herbivora kecil misalnya serangga (Kimball, 2005). Kemudian dihancurkan oleh dekomposer terutam oleh fungi dan bakteri. Tetapi keadaan sangat berbeda pada sisa tumbuhan yang tidak bisa hancur dan tertimbun menjadi gambut, kemudian akan menjadi batu arang. Semua rantai makanan dimulai dengan organisme autrofik, yaitu organisme yang melakukan fotosintesis seperti tumbuhan hijau.organisme ini disebut produsen karena hanya mereka yang dapat membuat makan dari bahan mentah anorganik. Setiap organisme, misalnya sapi atau belalang yang memakan tumbuhan disebut herbivora atau konsumen primer. Karnivora seperti halnya katak yang memakan herbivora disebut konsumen sekunder. Karnivora sebagaimana ular, yang memakan konsumen sekunder dinamakan konsumen tersier, dan seterusnya. Setiap tingkatan konsumen dalam suatu rantai makanan disebut tingkatan trofik. Sedangkan jaring-jaring makanan dibentuk oleh beberapa rantai makanan yang saling berhubungan.
Pada rantai makanan telah kita ketahui bahwa tingkat tropik yang terdiri atas produsen, konsumen tingkat I, konsumen tingkat II, dan seterusnya. Produsen yang bersifat autotrof selalu menempati tingkatan tropik utama, herbivora menempati tingkat tropik kedua, karnivora menduduki tingkat tropik ketiga, dan seterusnya. Setiap perpindahan energi dari satu tingkat tropik ke tingkat tropik berikutnya akan terjadi pelepasan sebagian energi berupa panas sehingga jumlah energi pada rantai makanan untuk tingkat tropik yang sema- kin tinggi, jumlahnya semakin sedikit. Maka terbentuklah piramida ekologi/piramida makanan. Salah satu jenis piramida ekologi adalah piramida jumlah yang dilukiskan dengan jumlah individu. Piramida jumlah pada suatu ekosistem menunjukkan bahwa produsen mempunyai jumlah paling besar dan konsumen tingkat II jumlah lebih sedikit dan jumlah paling sedikit terdapat pada konsumen tingkat terakhir (Biological Science I, 1997).
E. Pola Interaksi
Contohnya pada Paku Simbar Menjangan menempel pada batang pohon ketapang. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya interaksi antarorganisme. Tumbuhan paku mempunyai keuntungan mendapatkan tempat hidup, pohon ketapang tidak mendapatkan keuntungan maupun kerugian dengan adanya tumbuhan paku. Interaksi seperti ini disebut komensalisme.
a. Komensalisme
Komensalisme adalah interaksi yang saling menguntungkan satu organisme tetapi tidak berpengaruh pada yang lain. Contoh Epifit yang tumbuh pada tumbuhan inang. Tumbuhan anggrek yang hidup menempel pada pohon (inang), memanfaatkan inang hanya sebagai tempat fisik untuk hidup. Tumbuhan inang tidak mendapat tekanan (dirugikan) dengan adanya tumbuhan anggrek.
b. Mutualisme
Bentuk interaksi dimana kedua pasangan yang berinteraksi saling menguntungkan. Contoh umum mutualisme adalah penyerbukan yang dilakukan oleh serangga.
c. Parasitisme
Hubungan di antara dua organisme, yang satu sebagai parasit dan yang lain sebagai inang. Parasit memperoleh keuntungan dari kehidupan bersama ini dengan mendapatkan bahan makanan, sedangkan inang tertekan (dirugikan). Contoh hubungan antara tumbuhan Beluntas (Plucea indica) dengan Tali putri.
















BAB III
METODE PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi
Pada praktikum ekologi yang ditunjukkan sebagai objek kegiatan keseimbangan ekosistem yang terdapat pada vegetasi perkebunan, kami sebagai praktikum mengambil objek penelitian di perkebunan singkong di daerah Timoho, Gang Gendeng . Terdapat sepetak kebun singkong yang beukuran 144 m2, perkebunan singkong tersebut milik Bapak Sumarno dan keluarganya. Beliau tinggal di kawasan yang padat dengan area perkebunan dan banyak pohon-pohon yang tumbuh subur di sekitarnya. Seperti pohon mojopahit,pohon pisang, pohon jambu. Dan juga terdapat tanaman obat-obatan yang tumbuh liar seperti kunyit, lengkuas, adapun juga tumbuh tanaman cabe, sehingga kami sebagai praktikan untuk dapat mengamati dan mengidentifikasi organisme yang di temukan pada area perkebunan singkong tersebut.
Perkebunan singkong terletak diatas permukaan sungai yang cukup besar dan di bawah perumahan warga disekitar daerah tersebut, perkebunan singkong dengan struktur tanah yang gembur dan irigasi/pengairan cukup untuk pertumbuhan tanaman dapat menghasilkan suatu ekosistem ekosistem yang seimbang dan berbagai komponen- komponen abiotik maupun biotik.
B. Waktu dan Tempat
Penelitian di lakukan dengan 3 kali ulangan pada waktu dan kondisi yang berbeda yaitu
Siang : Senin 15 maret 2010, pukul 14.00 WIB
Sore : Kamis 18 maret 2010, pukul 17.00 WIB
Pagi : Kamis 25 maret 2010 pukul 06.00 WIB
Lokasi : Jalan Timoho, gang Gendeng ( perkebunan Bapak Sumarno).



C. Metode kerja
1. Alat dan Bahan
a. Alat
1. termometer udara
2. termometer tanah
3. soil tester
4. meteran
5. kamera
b. Bahan
Sepetak kebun singkong dengan luas 144 m2 dengan jenis organisme dan komponen abiotik yang ada di kebun singkong.
c. Cara kerja
1. Dilakukan observasi tempat penelitian
2. Dilakukan penelitian dengan cara membagi kelompok menjadi 8 orang dengan tugas menghitung komponen biotik dan abiotik dengan luas areal yang sama yaitu seluas 18 m2 (keseluruhan luas sebesar 144 m2).
3. Menghitung pH dan kelembaban tanah
 Disiapkan soil tester kemudian di tancapkan ke dalam tanah dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diamati dan dicatat hasil PH yang diperoleh
 Setelah dihitung pH nya, ditekan tombol putih selama 10 menit dan diamati kelembaban tanahnya.


4. Menghitung temperatur tanah
 Disiapkan termometer tanah kemudian ditancapkan ke dalam tanah dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diamati dan dicatat hasil temperatur tanah yang diperoleh.
5. Menghitung suhu udara
 Disiapkan termometer suhu kemudian diletakkan pada ranting pohon singkong dan didiamkan selama 10 menit, setelah selesai kemudian diamati suhu udara yang ada pada perkebunan singkong














BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Tabel 1. Data faktor biotik dan abiotik ekosistem kebun
Waktu : Senin, 15 Maret 2010 (siang)
Pukul : 14.00 WIB
a. Tabel faktor biotik
Jenis Jumlah
Hewan
1. Kupu-kupu 13
2. Semut 50
3. Capung 13
4. Lalat 1
5. Laba-laba 6
6. Belalang 11
7. Ayam 5
Tumbuhan
1. Pohon ketela 60
2. Krokot 32
3. Tanaman Cabai (Capsicum frutescen) 23

b. Tabel faktor abiotik
Parameter abiotik Keterangan
1. Cuaca Mendung
2. Tanah Gembur, kering, berwarna coklat
3. Pengairan Selokan kering tidak ada air

Waktu : Kamis, 18 Maret 2010 (sore)
Pukul : 17.00 WIB
a. Tabel faktor biotik
Jenis Jumlah
Hewan
1. Kupu-kupu 4
2. Semut 40
3. Capung 6
4. Lalat 1
5. Laba-laba 5
6. Belalang 21
7. Jangkrik 11
8. Lebah 3
9. Nyamuk 15
Tumbuhan
1. Pohon ketela 60
2. Krokot 32
3. Tanaman Cabe (Capsicum frutescen) 23

b. Tabel faktor abiotik
Parameter abiotik Keterangan
1. Cuaca Hujan
2. tanah Lembab, berwarna coklat
3. pengairan Banyak air





Waktu : Kamis, 25 Maret 2010 (pagi)
Pukul : 06.00 WIB
a. Tabel faktor biotik
Jenis
Jumlah
Hewan
1. Kupu-kupu 7
2. Semut 22
3. Capung 1
4. Lalat 25
5. Laba-laba 4
6. Belalang 12
7. Jangkrik 3
8. Lebah 3
9. Nyamuk 1
Tumbuhan
1. Pohon ketela 60
2. Krokot 32
3. Tanaman Cabe (Capsicum frutescen) 23

b. Tabel faktor abiotik
Parameter abiotik Keterangan
1. Cuaca Cerah
2. tanah Lembab, berwarna coklat
3. pengairan Sedikit air
4. suhu udara 26°C
5. suhu tanah 25 °C
6. pH tanah 6,7
7. kelembaban 54%


2. Rantai makanan









3. Jaring-jaring makanan




















4. Tingkat Tropik Dengan Konsep Piramida




















B. Pembahasan
Ekosistem kebun merupakan salah satu ekosistem yang dipelajari dan diteliti dalam praktikum ekologi. Ekosistem kebun yang telah dilakukan oleh kelompok kami menggunakan metode random dalam pengamatan. Dan menempatkan waktu penelitian dalam tiga waktu yang berbeda yaitu pagi, siang dan sore. Kemelimpahan organisme (komponen biotik) sangat beragam dan banyak. Selain faktor biotik juga faktor abiotik yang berada dalam waktu dan kondisi yang berbeda bertujuan untuk mengetahui perbedaan jenis, kuantitas spesies dan komponen abiotik pada ekosistem kebun. Faktor-faktor abiotik seperti suhu, kelembaban, pH, tanah dan cuaca sangat mempengaruhi komponen biotik yang hidup di kebun.
Faktor berdasarkan sifat dibedakan menjadi komponen biotik dan abiotik serta korelasinya. Pada pengamatan siang hari dengan tanah kering, cuaca mendung dan pengairan sedikit, menunjukkan kemelimpahan biotik yang tidak beragam seperti pada waktu pengamatan sore hari dengan kondisi hujan, tanah lembab dan pengairan banyak. Jenis organisme menunjukkan kesamaan pada pengamatan sore dan pagi hari, namun kemelimpahan organisme di kebun berbeda. Di dalam ekosistem kebun ini terlihat telah terjadi interaksi antara faktor biotik dan komponen abiotiknya.interaksi yang terjadi seperti distribusi air yang terdapat di dekat kebun. Sungai yang berada di dekat kebun tersebut menyebabkan keadaan tanah menjadi lembab. Selain itu faktor abiotik lainnya juga mempengaruhi distribusi organisme, seperti suhu, pH dan kelembaban. Dari faktor abiotik itulah yang mempengaruhi kemelimpahan faktor biotiknya.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan telah didapatkan hasil pengamatan, yang meliputi : piramida ekologik, rantai makanan dan jaring-jaring makanan. Piramida ekologik yang diperoleh disusun berdasarkan tingkatan tropik komponen biotik yang diperoleh. Tingkat tropik I ditempati oleh produsen (ketela, krokot dan cabai) sebagai penyedia dan penghasil energi untuk tingkat tropik II. Energi yang dihasilkan oleh produsen diperoleh dari hasil fotosintesis tumbuhan dengan memanfaatkan CO2 dan cahaya matahari. Dengan mengubah amilum dan karbondioksida menjadi oksigen, air dan energi. Persediaan energi yang dihasilkan oleh tingkat produsen ini dimanfaatkan oleh tingkat tropik II yang ditempati oleh konsumen tingkat I (lalat, belalang, jangkrik, semut dan lebah, kupu-kupu). Disini telah terjadi aliran energi yaitu dari tingkat tropik I ke tingkat tropik II (produsen ke konsumen tingkat I). Tingkat tropik III sebagai konsumen II (Capung dan laba-laba). Tingkatan tropik IV ditempati konsumen III (ayam dan laba-laba). Laba-laba masuk konsumen II dan III disebabkan karena ekosistem yang berjalan secara alami karena laba-laba mempunyai mangsa di konsumen tingkat I dan II. Tingkatan tropik V ditempati oleh konsumen IV yaitu ayam. Seperti halnya dengan laba-laba, ayam menempati konsumen III dan IV karena mangsa ayam berada pada konsumen II dan IV.
Dari tingkatan tropik di atas produsen sebagai penghasil energi dibutuhkan untuk tingkatan tropik I, dan energi dari tingkat tropik I dimanfaatkan oleh tingkatan tropik II dan begitu seterusnya sampai tingkatan tropik yang ke V. Aliran energi terjadi diantara tingkatan tropik di atas. Aliran energi tersebut akan menyebabkan hilangnya energi dari tingkatan tropik yang satu ke tingkatan tropik berikutnya. Tingkatan tropik yang lebih atas membutuhkan energi dan tergantung dari tingkatan tropik yang berada di bawahnya. Misalnya tingkat tropik II (konsumen I) sangat bergantung dan memerlukan energi dari tingkat tropik I yaitu produsen. Hubungan antara tingkat tropik tersebut dipertahankan sampai tingkat tropik yang satu dapat memenuhi kebutuhan tingkat tropik yang lainnya.
Rantai makanan adalah peristiwa makan dan dimakan antara organisme dengan arah tertentu pada suatu ekosistem. Rantai makanan terbentuk karena pola ekosistem yang berjalan secara alami antara produsen, konsumen tingkat I, konsumen tingkat II, konsumen tingkat III dan konsumen tingkat IV. Produsen yang ditempati oleh ketela, krokot dan cabai memberikan kontribusi terhadap berlangsungnya kehidupan bagi konsumen tingkat pertama. Produsen sebagai sumber makanan bagi konsumen pertama menyediakan nutrisi dan energi bagi konsumen I. konsumen I (lalat, lebah, jangkrik, semut dan kupu-kupu) akan dimanfaatkan oleh pemangsa berikutnya yaitu konsumen tingkat II. Konsumen tingkat II (capung dan laba-laba) akan mengalami hal yang sama yaitu dimakan atau dimanfaatkan oleh koonsumen tingkat III. Konsumen tingkat III (laba-laba dan ayam) akan dimanfaatkan oleh konsumen berikutnya yaitu konsumen tingkat IV (ayam). Sebenarnya di dalam ekosistem kebun tersebut ada dekomposer yang berperan dalam rantai makanan ini, akan tetapi pengamatan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya dekomposer. Pemilihan waktu yang kurang tepat dan kurangnya penelitian secara berkala yang menyebabkan dekomposer tidak teramati.
Perpindahan energi terjadi mulai dari produsen dimakan konsumen tingkat I, konsumen tingkat I dimakan konsumen tingkat II dan seterusnya. Keadaan ini akan dipertahankan selama jumlah produsen lebih besar daripada konsumen tingkat I. konsumen tingkat I lebih besar dari konsumen tingkat II dan seterusnya. Dalam hal ini peristiwa makan dan dimakan dari produsen dan konsumen tidak dihabiskan semuanya. Akan tetapi masih menyisakan energi yang ditinggalkan. Dan energi yang ditinggalkan tersebut akn berubah menjadi bentuk energi yang lain. Sehingga akan terbentuk piramida ekologi yang menunjukkan tingkatan konsumen di atasnya lebih kecil dibandingkan konsumen yang berada di bawahnya.

















BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekosistem kebun yang telah diamati ditemukan organisme yang membentuk suatu piramida ekologik, rantai makanan dan jaring-jaring makanan. persediaan energi yang paling melimpah adalah pada tingkat tropik I yaitu produsen (ketela, krokot dan cabai). Sedangkan tingkat tropik II, III dan IV secara berturut-turut semakin berkurang. Dengan pola yang demikian, maka ekosistem kebun yang diteliti masih dalam keadaan yang seimbang.
B. Saran
Pada penelitian ekosistem seharusnya dilakukan secara berkala dan ditempatkan waktu yang berbeda-beda. Waktu dan kondisi yang berbeda, misalkan mendung, hujan dan cerah akan mempengaruhi jumlah dan jenis organisme yang berada dalam ekosistem tersebut. Pengukuran faktor abiotik dilakukan sekali, karena keterbatasan alat untuk pengukuran. Seharusny perlu ditambah alat untuk pengukuran komponen abiotik.











Daftar pustaka
Anonim. 1997. Biologi science 1.diunduh dari http:// Biological Science I .com. tanggal akses 2 April 2010
Campbell, Neil. 2004. Biologi jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga
Kimball. J.W. 2005. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga
Michael.1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta : UI Press
Odum, Eugene P. 1979. Fundamentals of Ecology third Edition. Georgia: Saunders
College Publishing
Paskalis riberu. 2002. Pembelajaran Ekologi. Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Pratiwi, D.A. 2005. Biologi Jilid 3 edisi Kelima. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga
Rochman. 2005. Biologi. Bandung : CV. Pustaka Mulia

Uji kualitas Air Parit Pertigaan Lampu Merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sub Inlet Sungai Gajah Wong Yogyakarta

Uji kualitas Air Parit Pertigaan Lampu Merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sub Inlet Sungai Gajah Wong Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Air mempunyai peranan penting bagi seluruh kehidupan di dunia. Manusia memanfaatkan air untuk keperluan air minum, memasak, mandi, mencuci dan dipakai sebagai pembangkit tenaga listrik. Bagi tumbuhan air sangat berperan penting dalam proses fotosintesa. Seperti pada manusia, hewan dan juga mikroorganisme memerlukan air untuk proses metabolisme
Berdasarkan kualitasnya, air dibedakan menjadi dua, yaitu : air bersih dan air tercemar. Air bersih mempunyai ciri-ciri : tidak berbau, tidak berwarna, tidak berbusa dan pH netral. Sedangkan air tercemar jika dilihat dari kondisi fisik menunjukkan ciri-ciri : berbau, berwarna, berbusa dan pH tidak netral.
Air berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Namun ketersediaan di berbagai habitat sangat bervariasi. Organisme air memanfaatkan air sebagai habitat, misalnya ikan hidup terendam dalam air. Habitat air tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternalnya. Keseimbangan ekosistem air mengalami permasalahan apabila tekanan osmosis intraselulernya tidak sesuai dengan tekanan osmosis air di sekitarnya (Maizer,2007). Kondisi di atas terjadi dapat disebabkan karena air telah tercemar oleh limbah air.
Pencemaran merupakan penyimpangan dari keadaan normalnya. Misalnya pencemaran air sungai dimana suatu keadaan air tersebut telah mengalami penyimpangan dari keadaan normalnya. Menurut Wardhana ( 1995) menyatakan bahwa keadaan normal air masih tergantung pada faktor penentu yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air. Pencemaran air dapat dijadikan sebagai indikator yang menentukan kualitas air.
Pencemaran air dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : dari bahan organik, anorganik, zat kimia, dan limbah. Bahan buangan organik biasanya berupa limbah yang dapat terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme. Sedangkan bahan buangan anorganik berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan mikroorganisme tidak dapat mendegradasinya. Macam-macam bahan anorganik bersal dari logam-logam seperti : ion kalsium (Ca), ion magnesium (Mg), ion timbal (Pb), ion arsen (As), dan air raksa (Hg). Apabila logam-logam tersebut mencemari air, maka akan terakumuasi akibatnya sifat air menjadi sadah dan mengganggu kesehatan manusia. Bahan buangan yang berasal dari zat kimia dihasilkan dari sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan penyamak kulit dan zat radioaktif. Dan yang terakhir adalah limbah, yaitu zat,energi dan atau komponen lain yang dikeluarkan , dibuang akibat sesuatu kegiatan baik industri maupun non-industri (Peraturan Daerah Tingkat I Bali 1988). Limbah yang dihasilkan dapat menimbulkan gas yang berbau busuk misalnya H2S dan ammonia (Kadek Diana, 2007).
Dewasa ini air menjadi masalah yang sangat penting, karena keberadaan air bersih manjadi barang mahal. Air yang dahulu melimpah akan kandungan mineral dan oksigen, kini telah banyak terjadi kasus pencemaran air. Pencemaran air ini disebabkan oleh ulah manusia yang kurang memperhatikan lingkungan. Diantara ulah manusia itu adalah kebiasaan manusia membuang sampah ke sungai, mengalirkan limbah MCK, pembuangan limbah pabrik dan pembuangan limbah rumah tangga. Selain itu sisa-sisa pupuk atau pestisida dari derah pertanian, limbah kotoran ternak, hasil kebakaran hutan dan endapan sisa-sisa gunung berapi meletus juga mengakibatkan terjadinya pencemaran air (Lutfi, 2009). Pencemaran air ini dapat menurunkan kualitas air yang telah ditentukan. Gajah Wong merupakan salah satu sungai yang ada di propinsi Yogyakarta. Jika dilihat dari warna air sungai menunjukkan adanya pencemaran. Pencemaran air ini diduga berasal dari parit-parit yang mengalir ke sungai, salah satunya parit sepanjang jalan Solo. Sehingga perlu adanya uji kualitas air yang meliputi fisik, kimia dan uji mikrobia terhadap kualitas air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sub inlet sungai Gajah Wong Yogyakarta.

B. Batasan masalah
1. Uji kualitas limbah cair di parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan sub inlet sungai Gajah Wong Yogyakarta.
2. Uji kualitas air dilakukan pada uji kimia, fisika dan mikrobia.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimana kualitas air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sub Inlet Sungai Gajah Wong Yogyakarta, apakah masih pada ambang normal atau tidak menurut Peraturan Pemerintah. No.20 Tahun 1990?
D. Tujuan penelitian
Mengetahui kuaslitas air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan sub inlet sungai Gajah Wong Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui kualitas air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan sub inlet sungai Gajah Wong Yogyakarta.
2. Data yang diperoleh dapat menjadi refrensi untuk peneliti beikutnya dalam uji kualitas air

F. Hipotesa
Kualitas air di parit sepanjang Hotel Saphir sampai dengan sub Inlet Sungai Gajah Wong Yogyakarta di atas ambang normal.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Air
Air (H2O) merupakan sebagian unsur kimia yang berada dalam bentuk cair pada tekanan biasa dan pada suhu bilik. Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian dan minuman untuk ternak. Selain itu, air juga sangat diperlukan dalam kegiatan industri dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup manusia. Namun dibalik manfaat-manfaat tersebut, aktivitas manusia di bidang pertanian, industri, dan kegiatan rumah tangga dapat dan telah terbukti menyebabkan menurunnya kualitas air. Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu (Efendi, 2003).
Upaya pemenuhan kebutuhan air oleh manusia dalam kehidupan sehari–hari dapat dengan mengambil air dari dalam tanah, air permukaan, atau langsung dari air hujan. Dari ketiga sumber air tersebut, air tanah yang paling banyak digunakan karena air tanah memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber-sumber lainnya antara lain karena kualitas airnya yang lebih baik serta pengaruh akibat pencemaran yang relatif kecil. Akan tetapi air yang dipergunakan tidak selalu sesuai dengan syarat kesehatan, karena sering ditemui air tersebut mengandung bibit ataupun zat-zat tertentu yang dapat menimbulkan penyakit yang justru membahayakan kelangsungan hidup manusia (Suripin, 2002).
Sumber air merupakan salah satu komponen utama yang ada pada suatu sistem penyediaan air bersih, karena tanpa sumber air maka suatu sistem penyediaan air bersih tidak akan berfungsi. Menurut Suyono (1993), macam-macam sumber air yang dapat di manfaatkan sebagai sumber air minum adalah sebagai berikut:
1. Air laut
Mempunyai sifat asin, karena mengandung garam NaCl.Kadar garam NaCl dalam air laut 3 % dengan keadaan ini maka air laut tidak memenuhi syarat untuk diminum.
2. Air Atmosfer
Untuk menjadikan air hujan sebagai air minum hendaknya pada waktu menampung air hujan mulai turun, karena masih mengandung banyak kotoran. Selain itu air hujan mempunyai sifat agresif terutama terhadap pipa-pipa penyalur maupun bak-bak reservoir, sehingga hal ini akan mempercepat terjadinya korosi atau karatan. Juga air ini mempunyai sifat lunak, sehingga akan boros terhadap pemakaian sabun.
3. Air Permukaan
Air permukaan adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan ini akan mendapat pengotoran selama pengalirannya, misalnya oleh lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, kotoran industri dan lainnya. Air permukaan ada dua macam yaitu air sungai dan air rawa. Air sungai digunakan sebagai air minum, seharusnya melalui pengolahan yang sempurna, mengingat bahwa air sungai ini pada umumnya mempunyai derajat pengotoran yang tinggi. Debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan air minum pada umumnya dapat mencukupi. Air rawa kebanyakan berwarna disebabkan oleh adanya zat-zat organik yang telah membusuk, yang menyebabkan warna kuning coklat, sehingga untuk pengambilan air sebaiknya dilakukan pada kedalaman tertentu di tengah-tengah.
4. Air tanah
Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah didalam zone jenuh dimana tekanan hidrostatiknya sama atau lebih besar dari tekanan atmosfer.
5. Mata air
Mata air yaitu air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah dalam hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitasnya sama dengan air dalam.
B. Sungai
Sungai adalah air hujan atau mata air yang mengalir secara alami melalui suatu lembah atau diantara dua tepian dengan batas jelas, menuju tempat lebih rendah(laut, danau,atau sungai lain). Sungai terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir:
1. Bagian hulu sungai terletak di daerah yang relatif tinggi sehingga air dapat mengalir turun.
2. Bagian tengah sungai terletak pada daerah yang lebih landai.
3. Bagian hilir sungai terletak di daerah landai dan sudah mendekati muara sungai.



Jenis-jenis sungai dibagi menjadi 5, yaitu sumgai hujan, sungai gletser, sungai campuran, sungai permanen.
1.Sungai hujan adalah sungai yang berasal dari hujan.
2. Sungai gletser adalah sungai yang airnya berasal dari gletser atau bongkahan es yang mencair.
3. Sungai campuran adalah sungai yang airnya berasal dari hujan dan salju yang mencair.
4. Sungai permanen adalah sungai yang airnya relatif tetap.
5. Sungai periodik adalah sungai dengan volume air tidak tetap.(Anonim,2010)
C. Kualitas Air
Kualitas air dapat dilihat dari sifat fisika, kimiawi dan biologis. Air yang mempunyai kualitas baik harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Persyaratan fisika
a) Air tidak keruh
b) Air tidak berwarna
c) Rasanya tawar
Air yang terasa asam, manis, pahit atau asin menunjukan air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik. Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air.
d) Temperaturnya normal
Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan zat kimia yang ada pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan dan menghambat pertumbuhan mikro organisme.
e) Tidak padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/ TDS) Air
Baku mutu air Tahun 2001 menetapkan bahwa kadar maksimum TDS yang diperbolehkan dalam penggunaan air golongan I, II dan III adalah 1000 mg/l, sedangkan untuk golongan IV sebesar 2000 mg/l.
f) pH (derajat keasaman)
Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara pH 6-7,5.

Fluktuasi nilai pH pada air sungai dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain:
(1) Bahan organik atau limbah organik. Meningkatnya kemasaman dipenga-ruhi oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian,
(2) Bahan anorganik atau limbah anorganik. Air limbah industri bahan anorganik umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga kemasamannya juga tinggi,
(3) Basa dan garam basa dalam air seperti NaOH2 dan Ca(OH)2 dan sebagainya. (iv) Hujan asam akibat emisi gas. pH air hujan ini dapat mencapai 2 atau 3 berada jauh dibawah pH air hujan normal yaitu sekitar pH 5,6 (Siradz, 2008)
2. Persyaratan Kimia
a) Besi
Air yang mengandung banyak besi akan berwarna kuning dan menyebabkan rasa logam besi dalam air, serta menimbulkan korosi pada bahan yang terbuat dari metal.
b) Aluminium
Batas maksimal yang terkandung didalam air menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 82 / 2001 yaitu 0,2 mg/l. Air yang mengandung banyak aluminium menyebabkan rasa yang tidak enak apabila dikonsumsi.
c) Sulfat
Kandungan sulfat yang berlebihan dalam air dapat mengakibatkan kerak air yang keras pada alat merebus air (panci / ketel)selain mengakibatkan bau dan korosi pada pipa. Sering dihubungkan dengan penanganan dan pengolahan air bekas.
d) Nitrat dan nitrit
Pencemaran air dari nitrat dan nitrit bersumber dari tanah dan tanaman. Nitrat dapat terjadi baik dari NO2 atmosfer maupun dari pupuk-pupuk yang digunakan dan dari oksidasi NO2 oleh bakteri dari kelompok Nitrobacter. Jumlah Nitrat yang lebih besar dalam usus cenderung untuk berubah menjadi Nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan hemoglobine dalam daerah membentuk methaemoglobine yang dapat menghalang perjalanan oksigen didalam tubuh.
e) Zink atau Zn Batas maksimal Zink yang terkandung dalam air adalah 15 mg/l. penyimpangan terhadap standar kualitas ini menimbulkan rasa pahit, sepet, dan rasa mual. Dalam jumlah kecil, Zink merupakan unsur yang penting untuk metabolisme, karena kekurangan Zink dapat menyebabkan hambatan pada pertumbuhan anak (Depkes, 2002).
f) COD (Chemical Oxygen Demand)
COD menunjukkan jumlah oksigen total yang dibutuhkan untuk mengoksi dasi bahan secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non-biodegradable). Sedangkan BOD hanya menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikrobia aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Oleh karena itu nilai COD pada umumnya lebih tinggi daripada nilai BOD. Nilai COD dapat digunakan sebagai ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut (DO) di dalam air (Nurdijanto, 2000).
g) Oksigen Terlarutkan (Disolved Oksigen /DO)
Oksigen dibutuhkan oleh hampir semua organisme untuk hidupnya. Pada kehidupan hewan, oksigen merupakan salah satu komponen utama di dalam proses metabolisme dan proses respirasi, namun kebutuhan akan oksigen pada setiap hewan bergantung pada jenis, stadia dan aktivitasnya. Oksigen terlarutkan di dalam air menunjukkan cadangan oksigen dalam air sungai tersebut. Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup dalam air. Kadar oksigen terlarut dalam perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l. Oleh karena itu kadar oksigen terlarutkan dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Penurunan kadar oksigen terlarut dalam perairan merupakan indikasi kuat adanya pencemaran terutama pencemaran bahan organik (Siradz, 2008).
h) Persyaratan mikrobiologis
Persyaratan mikrobiologis yang harus dipenuhi oleh air adalah sebagai berikut :
(1) Tidak mengandung bakteri patogen
misalnya: bakteri golongan coli; Salmonella typhi, Vibrio cholera dan lain-lain. Kuman-kuman ini mudah tersebar melalui air.
(2) Tidak mengandung bakteri non patogen seperti: Actinomycetes, Phytoplankton coliform, Cladocera dan lain-lain. (Sujudi, 1995).
D. Pencemaran Air
Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya. Jadi pencemaran air tanah adalah suatu keadaan air tersebut telah mengalami penyimpangan dari keadaan normalnya. Keadaan normal air masih tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air (Wardhana, 1995). Pencemar air dapat menentukan indikator yang terjadi pada air lingkungan.
Pencemar air dikelompokkan sebagai berikut :
1. Bahan buangan organik
Bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba patogen pun ikut juga berkembang biak di mana hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit.
2. Bahan buangan anorganik
Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air, sehingga hal ini dapat mengakibatkan air menjadi bersifat sadah karena mengandung ion kalsium (Ca) dan ion magnesium (Mg). Selain itu ion-ion tersebut dapat bersifat racun seperti timbal (Pb), arsen (As) dan air raksa (Hg) yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
3. Bahan buangan zat kimia
Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya seperti bahan pencemar air yang berupa sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan penyamak kulit dan zat radioaktif. Zat kimia ini di air lingkungan merupakan racun yang mengganggu dan dapat mematikan hewan air, tanaman air dan mungkin juga manusia (Harmayani dan Konsukartha, 2007).







E. Standar Kualitas Air
Menurut peraturan pemerintah No. 20 tahun 1990, standar kualitas air di perairan umum dapat ditinjau secara fisika, kimia, mikrobiologis, dan radioaktivitas. Berdasarkan beberapa parameter tersebut, air digolongkan menjadi empat yaitu golongan A, B, C, dan D.
Golongan A merupakan air yang dapat digunakan sebagai air minum tanpa pengolahan terlebih dahulu. Golongan B merupakan air yang digunakan sebagai bahan baku air minum melalui suatu pengolahan. Pada golongan C, air digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan. Sedangkan golongan D , air digunakan untuk pertanian dan usaha perkotaan, industry dan PLTA. (Depkes, 2002)
Banyaknya suatu bakteri seperti E. coli dan coliform dalam air menunjukkan rendahnya kualitas air yang dimiliki. Menurut Depkes (2002), semakin banyak jumlah bakteri E. coli dan coliform, kualitas airnya semakin menurun.















BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikrobiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta selama satu minggu pada minggu terakhir bulan Maret 2010.

B. Alat
Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Erlenmeyer, tabung pengukuran CO2, gelas beker, thermometer g/alkohol, secchi disk, pH meter, tabung reaksi, kawat inokulasi, mikroskop, spektofotometer, inkubator, erlemmeyer.

C. Bahan
C1. Bahan Sampel
Sampel air yang digunakan pada penelitian ini diambil di air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan sub inlet Sungai Gajah Wong.
C2. Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang dipakai pada penelitian ini adalah MnSO4, KOH-KI, Air aquades, Na2S2O3, Indikator pp, Larurtan NaOH, H2SO4 pekat, Yeast extrack, NaCl, Pepton atau tripton, dan Alkohol. Bahan sampel adalah air sampel.
D. Cara Kerja
D.1. Pembuatan media LB ( Lauryl Burtany)
5 gr Yeast extract ditambah 10 gr NaCl ditambah 10 gr tripton diencerkan dengan aquadest sampai volume 1 liter. Kemudian di aliquot pada tabung reaksi dan selanjutnya diautoclave 1 atm 15 menit.
D.2. Pengambilan sampel
Sampel diambil dengan cara memasukan wadah ke air searah aliran sungai dengan pengulangan tiga kali. Sampling dilakukan pada lokasi yang sama yaitu dari selokan pertigaan lampu merah di depan perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebelah timur.
D.3. Pengamatan kualitas air secara kimia
Pengukuran DO (Dissolved Oxygen ) dengan metode Micro winker
Diambil air sampel yang akan di ukur sebanyak 40cc dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditetesi dengan MnSO4 ( 480 g MnSO4. 4H2O dalam 1 liter akuades ) dan KOH-KI 22 tetes (1 ml) (700 g KOH dan 150 g KI dalam 1 Liter akuades ) masing-masing sebanyak 8 tetes, digoyang perlahan dan akan terbentuk endapan coklat. Dimasukkan larutan H2SO4 pekat sebanyak 5 cc lewat dinding Erlenmeyer di goyang berlahan, sehingga endapan coklat akan hilang dan warna air sempel akan berubah menjadi kuning. ditambahkan air sampel ke dalam Erlenmeyer , sehingga volume menjadi 50 cc dan didiamkan selama 10-15 menit. Setelah itu titrasi dengan larutan NA2S2O3 ( 0,025 N ) (titrasi ), sehingga warna berubah menjadi kuning pucat. Tetesi dengan indikator amilum sebanyak 8 tetes dan warna akan berubah menjadi biru tua. Titrasi kembali dengan larutan NA2S2O3 (titrasi 2 ), sehingga warna biru tepat hilang ( catat volume titran/jumlah skala yang digunakan dalam titrasi 1 dan 2
Kadar DO =


a. Pengukuran CO2 bebas dengan metode Mocro Winkler
Diambil air sampel sebanyak 20 cc dan dimasukkankedalam tabung pengukur CO2. Ditetesi dengan indicator pp (0,035%) sebanyak 3 tetes, apabila berwarna merah berarti tidak ada CO2bebas dan pekerjaan dihentikan. Apabila air sempel tetap (tidak timbul warna merah muda ) dilanjutkan dengan titrasi dengan larutan NaOH 0,02N, sehingga timbul warna merah muda.Catat warna NaOH yang digunakan.
Kadar CO2 bebas=




D.4. Pengukuran Kualitas air secara fisik
1). Pengukuran pH
Diambil air sampel, dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian kertas pH dimasukkan ke dalam air sampel tersebut. kertas tersebut diangkat dan diukur pH nya sesuai standar indikator pH universal.
2). Pengukuran kualitas air secara mikrobiologi
Penentuan kualitas koliform dilakukan dengan 15 tabung ( seri 5-5-5 ). Medium yang digunakan adalah LB (Lauryl Burtany) masing-masing tabung berisi 5 ml untuk 2 kali konsentrasi, dan masing-masing 10ml untuk konsentrasi 1 kali., Setiap tabung dimasukkan tabung Durcham dalam posisi terbalik.
Untuk pengujian yang menggunakan 15 tabung, pada 5 seri tabung pertama diisi 5 ml sampel air, 5 seri tabung kedua diisi dengan 1 ml sampel air, dan 5 seri tabung ketiga diisi dengan 0,1 ml sampel air. Semua tabung reaksi kemudian diinkubasi pada inkubator pada suhu 37°C. Setelah masa inkubasi 1-2 x 24 jam diamati terbentuknya gas(gelembung udara pada tabung Durcham) dan perubahan warna media (media menjadi keruh). Jika terdapat gelembung udara pada tabung durham atau media berubah warna menjadi keruh maka menunjukkan adanya bakteri E.coli. Analisis dilakukan dengan metode MPN (Most Probable Number).




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
1. Tabel 1. Hasil uji kualitas air
Pengujian Hari ke- Rata-rata
1 2 3
kimia DO (ppm) 24 43,5 10,9 26,13
CO2 (ppm) 6,68 4,75 1,136 4,18
mikrobia E.coli >1600 >1600 >1600 >1600
fisika pH 8 8 7 7,6
kekeruhan +++ ++ +
bau +++ ++ +












Gambar 1.Grafik kadar DO
Ket:
Percobaan 1 : hari senin
Percobaan 2 : hari rabu
Percobaan 3: hari jum’at









Gambar 2.Grafik kadar DO

Keterangan :
Percobaan 1 : hari senin
Percobaan 2 : hari rabu
Percobaan 3: hari jum’at

F. PEMBAHASAN
Uji kualitas air dilakukan secara fisik, kimia, biologi. Uraian pengukuran dan hasil pembahasan masing-masing adalah sebagai berikut :
1. Pengujian Fisik
a) pH
Pengukuran pH yang dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda. Pada hari Senin hasil pengukuran pH adalah 8, pH pada hari Selasa yaitu 8, sedangkan pH pada hari Jum`at adalah 7. Secara teoritis pH normal berkisar 6 - 7,5. Pada hari Senin dan Rabu menunjukkan bahwa pH air sampel yang diambil adalah bersifat basa. Sedangkan pH sampel pada hari Rabu adalah bersifat netral atau normal. Pengukuran pH dilakukan karena berperan dalam aktivitas enzim. Pada pH 8 meningkatkan kerja enzim sehingga laju metabolismenya meningkatkan pada algae, mikroorganisme, fitoplankton. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi DO (oksigen terlarut). Sehingga pada konsentrasi DO (oksigen terlarut) diperoleh nilai tinggi .Faktor-faktor yang mempengaruhi pH air parit adalah adanya sampah organik yang didegradasi oleh mikroorganisme dan sampah anorganik yang mengandung banyak asam mineral.
b) Bau
Bau yang ditimbulkan dari air limbah tersebut pada hari Senin menunjukkan air limbah yang sangat bau. Pada hari Rabu dan Jum’at bau yang ditimbulkan dari air limbah adalah bau. Air yang bau menunjukkan bahwa air tersebut tercemar. Hari Senin lebih bau dari pada hari Rabu dan Jum’at. Hal ini menunjukkan bahwa air pada hari Senin lebih tercemar dari pada hari Rabu dan Jum’at. Ini disebabkan karena aktifitas pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu lebih banyak dari pada hari Rabu dan Jum’at yang menyebabkan terjadinya akumulasi limbah pada parit di lokasi pengambilan sampel. Bau tersebut ditimbulkan karena adanya aktifitas mikroorganisme dalam merubah sampah organik menjadi senyawa anorganik dan CO2
2. Uji kimia
Pengujian kimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas air, apakah air tersebut masih pada ambang batas normal atau tidak. Pada pengujian kualitas air ini menggunakan parameter DO (Dissolved Oxygen/Oksigen Terlarut) dan parameter CO2 (karbondiosida). Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh, untuk parameter DO (Oksigen Terlarut) di dapat nilai rata-rata 26,13 ppm. Secara teoritis, kadar oksigen terlarut untuk air limbah normal kurang dari 10 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut pada air limbah ini melebihi ambang batas normal. Tingginya kadar oksigen terlarut dalam air dapat diduga adanya aktivitas mikroorganisme anaerob yang mendegradasi sampah organik tanpa menggunakan oksigen. Aktivitas mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan bau pada air.
Sedangkan untuk parameter parameter CO2 (karbondiosida) diperoleh rata-rata 4,18 ppm. Secara teoritis kadar CO2 lebih tinggi dari 10 ppm diketahui menunjukkan bersifat racun. Karbon dioksida dalam air pada umumnya merupakan hasil respirasi dari ikan dan phytoplankton. Maka dari sini dapat diketahui bahwa jika dipandang dari parameter CO2 untuk air limbah ini dapat dikatakan tidak bersifat racun. Jika CO2 yang terkandung dalam air terlalu banyak dapat menyebabkan keracunan bagi organisme air.
Rendahnya kandungan CO2 dalam air dapat disebabkan banyaknya mikroorganisme yang mendegradasi bahan buangan organik tanpa menghasilkan CO2. Berbeda halnya dengan mikroorganisme aerob yang menggunakan bahan buangan organic dan O2 yang menghasilkan CO2, H2O, dan NH3 (Warlina, 2004).
Dengan demikian di dalam air sampel banyak terkandung mikroorganisme anaerob daripada mikroorganisme aerob.
Dengan demikian banyaknya mikroorganisme anaerob dalam air dapat menyebabkan kandungan O2 lebih tinggi karena mikroorganisme tersebut tidak menggunakan oksigen dalam mendegradasi bahan buangan organic. Sedangkan kadar CO2 lebih rendah karena tidak adanya proses degradasi bahan buangan organik secara aerob. Semakin tinggi kandungan O2 dalam air, kadar CO2 semakin rendah.
Pada hari kedua kadar oksigen terlarut menunjukkan angka tertinggi. Oksigen terlarut yang terkandung dalam air berasal dari udara dan hasil proses fotosintesis tumbuhan air. Oksigen diperlukan oleh semua mahluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk mikroorganisme seperti bakteri. Pada hari kedua ini, kemungkinan mikroorganisme tidak mengunakan oksigen melainkan menggunakan senyawa organik. Sehingga oksigen terlarut pada hari kedua tertinggi.
Jenis limbah mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Limbah selokan hotel saphir ini sebagian besar merupakan limbah organik. Sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.
3. Pengujian mikrobiologi
Uji kualitas air secara mikrobiologi dilakukan dengan menguji adanya bakteri E. coli. E. coli merupakan bakteri coliform fecal yang berasal dari manusia. Bakteri E. coli merupakan bakteri yang dapat dijadikan sebagai indicator adanya pencemaran. Keberadaan E. coli juga merupakan indicator adanya bakteri pathogen lainnya. Peningkatan jumlah E. coli menyebabkan penurunan kualitas air. E. coli yang tercemar dalam air dapat menyebabkan sakit perut dan beberapa gangguan kesehatan lainnya. Seperti yang disebutkan oleh Zein (2004) bahwa bakteri E. coli bersifat enterophatogenic yang melekat pada epitel usus sehingga menyebabkan kerusakan membrane mikrovili yang mengganggu permukaan absorpsi dan aktivitas disakarida.
Untuk menguji jumlah bakteri E. coli, diambil sampel yang kemudian diinokulasikan dalam medium LB (Lauril Burtany). Medium LB (Luria-Bertani) biasa digunakan dalam mengkulturkan bakteri E. coli. Medium LB menyediakan asam amino tryptofan, vitamin dan beberapa metabolit lainnya yang disintesis oleh bakteri E. coli. Dalam percobaan ini, medium dibuat dalam tiga jenis pengenceran sebagai perbandingan. Masing-masing pengenceran berjumlah lima tabung reaksi berisi tabung durham yang pasang terbalik. Tabung durham berfungsi untuk menangkap gas CO2 yang merupakan sisa metabolit bakteri. Dengan demikian adanya bakteri E. coli dalam tabung ditandai dengan adanya gelembung pada tabung durham. Selain itu indicator adanya E. coli juga ditandai dengan adanya kekeruhan medium.
Untuk mengetahui jumlah E. coli digunakan system 5-5-5 yaitu 5 tabung untuk 10 ml, 5 tabung untuk 1 ml, dan 5 tabung untuk 0,1 ml. Apabila dari 15 tabung positif adanya E. coli, maka jumlah E. coli adalah >1600. Hasil inkubasi pada hari pertama hingga hari ketiga diperoleh >1600 bakteri. Pada hari pertama menunjukkan adanya E.coli pada seluruh tabung yang ditunjukkan dengan adanya gelembung pada tabung dan kekeruhan medium. Hari kedua dan ketiga tidak semua tabung menghasilkan gelembung pada tabung durham namun seluruh medium pada tabung tampak keruh. Hal tersebut dapat diduga karena beberapa bakteri belum melakukan metabolit secara sempurna yang menghasilkan gelembung.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia, penggunaan untuk air minum mensyaratkan dalam 100 ml air terkandung 0 coliform. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut, air sungai selokan telah tercemar oleh bakteri E. coli yang mengandung lebih dari 1600 bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa air parit pertigaan lampu merah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan sub Inlet Sungai Gadjah Wong Yogyakarta amat sangat tercemar.

BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan uji fisik,kimia dan mikrobiologi diatas dapat disimpulkan bahwa air limbah ini telah tercemar dan secara umum telah diambang batas normal.

Daftar Pustaka
Achmad Lutfi. 2009. Sumber Dan Bahan Pencemar Air
Anonim, 1988. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 16 Tahusn 1988,
Tentang Pengawasan dan Penaggulangan Pencemaran Lingkungan Oleh Limbah, Denpasar, Bali.
Depkes. 2002. Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum/Air Bersih. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Harmayani, Kadek Diana dan I. G. M. Konsukartha. 2007. “Pencemaran Air Tanah Akibat Pembuangan Limbah Domestik Di Lingkungan Kumuh’. Jurnal Permukiman Natah. Denpasar : Universitas Udayana. Vol, 5. NO. 2 Agustus 2007 : 62 – 108
Nahdi, M. S, dan Solikhah J .2007.Biologi Umum.Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Nurdijanto, 2000. Kimia Lingkungan. Pati: Yayasan peduli Lingkungan
Siradz, Syamsul A., dkk. 2008. Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istiewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8,. No. 2 (2008) p: 121-125
Sujudi. 1995. Mikrobiologi Kedokteran (Edisi Revisi). Jakarta: Bina Rupa Aksara
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi Offset.
Suyono, 1993. Pengelolaan Sumber Daya Air. Fakultas Geografi Universitas.
Wardhana, W.A., 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakrta : Andi Offset Yogyakarta
Widiyanti, N.L.P.M. Analisis Kualitatif Bakteri Koliform Pada Depo Air Minum Isi Ulang di Kota Singaraja Bali. Bali : P-MIPA IKIP Negeri Singaraja