Minggu, 30 Agustus 2009

Berdiri Menanti

Fajar hari ini masih terlihat hingga akhirnya lekas terbangun dalam pekat pagi. Pagi dinginpun terus berlalu. Berjalan, tatapannya ke depan. Bukan pujangga bukan pula pejuang. Ketika menikmati pagi penuh rutinitas, penat tak ada ujungnya. Sampai naiknya matahari itu kira2 sepenggalah. Mulai bertanya tentang kebosanan, kebosanan yang ada di fikirnya.sentak lalu berhamburan tak jelas entah mau lari kemana fantasi tentang itu. Masih saja jauh kerancuan akan masanya. Barangkali tak cukup untuk mengungkap semua. Sekarang dihadapkan dengan realitas yang ada. Entah mau berfikir apa, penuh tanya. Waktunya berdiri kata dan lamunan menjawab. Bekal apa, persiapan apa,. Mungkin logika bisa terbang lari jauh tak terbatas. Namun lihat kaki ini takut untuk berjalan. Lihat juga di depan ada ancaman , yang mana aku siap terjatuh dan tersakiti. Tanganpun ikut berbalas :tangan ini masih membawa beban. Jika beban ini aku latakkan , maka aku telah aniaya. Karena ini adalah bekal. Dimana bekal ini mengajari ilmu yang siap aku cerna. Tanpa beban ini aku aku juga tak bisa.coba tanyakan kepada telinga. Telinga apa kau mendengarku? Ya, aku telah mendengar celoteh dan cerita kalian.aku tetap mengawasi pendengaranku. Tapi lantas apa yang akuk perbuat? Ok, aku bisa mendengar tapi aku tidak bisa berbuat. Mungkin sarafku bekerja bergantian dengan logika, tapi kaki dan tangan terpaku. Argumen mereka sangat kuat. Tak berfungsilah telingakujika mereka masih menunggu.sekarang coba tanya paa mata. Mata kamu adalah yang terakhir. Apakah kamu siap pergi bersama logika? Logika telah jauh menembus tembok bertingakat itu. Aku adalah mata tatapanku masih muda , tajam, sorotankupun mengalahkan mata kamera. Aku adalah kamera yang paling sempurana yang diciptakan Tuhan.bisa saja aku menembus tembok bertingkat itu mendampingimu. Namun aku btuh teman karena mata saja tidak cukup, apa kamu tahu apa yang kumaksud? Temanku adalah mata hati.penglihatanku menjadi terang dimana aku siap menembus tembok bertingkat itu. Apa kamu juga tahu, bahwa logika saja tak cukup.kamu siap berfikir yang siap membawa organ lainnya. Tapi kamu juga tak bisa sendiri. Kamu hanya lewat perantara mulut, yang siap mensugesti lawannya.aku bisa melihat lewat hati. Sekarang aku berbalas bertanya. Apa kamu siap berjalan bersama mata hati? Coba bayangkan jika logikamu tak dibatasi mata hati. Apakah kaki, tangan, telinga, mata, dan mulut mau kau ajak menembus tembok bertingkat itu? Padahal tembok bertingkat itu berisi kesuksesan, masa depanmu, kebahagiaanmu. Sekarang logikamu sudah terbang jauh tak terbatas,solusimu sekarang kau tarik langkahmu mundur, coba ajak mata hati. Mata hati yang selalu membawamu, mengarahklanmu menuju tembok bertingkat itu. Jadikan mata hati sebagai guru yang siap mengantarmu menuju logika yang berhati terang. Nah siaplah kaki, dan tanga n mampu bergerak, telinga siap mendengar nasehatmu, mulut siap berucap tutur yang damai. Dan inilah sesaat yang kamu nanti, hampiri dan tembus tembok bertingkat yang kamu inginkan itu.